SETARA Institute, Jakarta, 1 Juni 2025, Hari kelahiran Pancasila menjadi momentum untuk merefleksikan bahwa situasi inklusi dan toleransi di Indonesia semakin mengarah pada kondisi regresif atau mengalami kemunduran.
Berbagai peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir tidak saja menjadi hambatan untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, namun nyata-nyata bertentangan dengan spirit dan nilai moral Pancasila. Hal ini memperlihatkan bahwa meskipun Pancasila selama delapan dekade terakhir telah disepakati sebagai norma dasar negara (staats fundamental norm), namun dalam perjalanannya, pemaknaan, penghayatan, dan pengamalan Pancasila masih absen dalam tata kelola negara dan tata hidup bangsa di berbagai lapisan, dari elite hingga masyarakat biasa (grass root). Alih-alih menjadi dasar penguat moral dan kesatuan bangsa, Pancasila kerap kali hanya menjadi jargon tanpa penghayatan.
Dari berbagai peristiwa pelanggaran KBB yang terjadi di Indonesia, SETARA Institute secara khusus menyoroti bagaimana lingkungan sekolah masih menjadi tempat tumbuh suburnya intoleransi, eksklusivitas, dan konservatisme. Di tahun 2024 misalnya, deretan peristiwa pelanggaran KBB terjadi di antaranya:
1).Penolakan pembangunan pondok pesantren di Jayapura;
2).Pelarangan bercadar oleh pihak SMP terhadap siswinya di Palembang;
3).Penolakan pendirian sekolah Kristen di Pare-Pare;
4). Pembatasan penggunaan jilbab anggota Paskibraka 2024 oleh BPIP;
5). Penolakan kurikulum pendidikan sekolah teologi di Nias, dan sebagainya.
Bahkan yang terbaru, beberapa hari lalu, intoleransi dan perundungan di lingkungan sekolah berujung pada tewasnya seorang pelajar SD akibat korban menganut agama yang berbeda dari para pelaku. Kasus ini menjadi contoh nyata dari dampak fatal dari perilaku intoleransi yang dilanggengkan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menegaskan adanya peningkatan kekerasan berbasis intoleransi di lingkungan sekolah.
Di tahun 2023, survei SETARA Institute di lima kota terpilih menunjukkan bahwa intoleransi remaja berbasis SMA/sederajat dalam kondisi yang mengkawatirkan. Jumlah pelajar intoleran pasif, intoleran aktif, dan terpapar ideologi ekstremisme kekerasan berturut-turut sebesar 24,2%, 5,0%, dan 0,6%. 83.3% responden bahkan menyebut bahwa Pancasila bukan sebagai ideologi yang permanen sehingga bisa diganti.
Menilik data di tahun 2023 dan mengaitkannya dengan fakta di tahun 2024 dan 2025, rentetan peristiwa pelanggaran KBB di lingkungan sekolah menjadi potret rapuhnya kekebalan generasi muda berbasis sekolah dari virus intoleransi yang menjamur di sektor pendidikan. Alih-alih melakukan berbagai terobosan untuk menghapus intoleransi, negara justru abai dan bergeming saat intoleransi terjadi (violation by ommission). Di setiap satuan pendidikan memang terdapat Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) untuk menghalau berbagai jenis kekerasan, terutama perundungan, kekerasan seksual, dan kekerasaan berdasarkan perbedaan agama/keyakinan, namun kinerja, peran, dan fungsi TPPK tidak pernah dipantau dan dievaluasi secara serius. TPPK hanya seperti ornamen anti kekerasan belaka. Padahal, merupakan kewajiban negara untuk melindungi anak-anak sebagai kelompok rentan dan kelompok minoritas agama, sebagaimana termaktub dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi, termasuk Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of Children/RC). Ironisnya, tidak jarang negara justru hadir sebagai aktor pelaku pelanggaran, baik dalam bentuk tindakan (violation by commission) maupun melalui kebijakan (violation by rule)
Atas berbagai situasi intoleransi di lingkungan pendidikan yang semakin mengkhawatirkan, SETARA Institute menyampaikan beberapa hal berikut:
Pertama, SETARA menyayangkan dan mengecam keras berbagai peristiwa intoleransi yang terjadi di lingkungan pendidikan. Sekolah sebagai tempat pertama dan utama dalam melahirkan generasi bangsa mestinya steril dari berbagai virus intoleransi dan seharusnya kondusif terhadap pembentukan karakter bangsa yang menginternalisasi nilai-nilai Pancasila, terutama nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana sila ke-2 Pancasila.
Kedua, SETARA menyayangkan ketidakseriusan Pemerintah dalam pembumian dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila. Berbagai kinerja pembinaan dan implementasi Pancasila di kalangan anak muda oleh Pemerintah lebih banyak bersifat seremonial tanpa menyentuh aspek yang lebih substantif. Internalisasi spirit dan nilai Pancasila mestinya tidak hanya berhenti pada level kurikulum maupun seremoni dan festival semata, namun juga harus memastikan Pancasila sebagai ideologi kerja (working ideology) yang menginternalisasi semangat, pemikiran, dan sikap generasi muda untuk mencegah mereka masuk dalam perangkap konservatisme dan terpapar virus intoleransi. Momentum Hari Lahir Pancasila hendaknya menjadi titik balik (turning point) untuk membangun komitmen bersama dalam berbagai sektor, yakni sektor pendidikan, ekonomi, dan sosial-budaya demi terciptanya ruang-ruang yang lebih inklusif di tengah masyarakat.
Ketiga, SETARA mengecam pelembagaan intoleransi melalui kebijakan negara. Selain temuan Komnas Perempuan mengenai 305 peraturan diskriminatif yang menyasar perempuan termasuk perempuan minoritas agama/kepercayaan, SETARA juga mencatat setidaknya terdapat 71 produk hukum diskriminatif di Indonesia yang secara spesifik membatasi kelompok minoritas agama tertentu. Kebijakan intoleran menjadi banal dan dinormalisasi. Banalitas pelembagaan intoleransi tidak hanya sebagai bentuk violation by rule, tetapi juga sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dasar KBB sebagai negative rights yang menuntut negara untuk tidak melakukan intervensi berlebih dan meluas, sehingga setiap orang dapat menikmati hak tersebut sesuai jaminan konstitusi Negara.
Keempat, SETARA mendesak beberapa Kementerian/Lembaga yang relevan untuk turut berbenah, mengambil sikap tegas, dan bertindak secara meamadai dalam pencegahan dan penanganan intoleransi, khususnya dalam dunia pendidikan. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah hendaknya melakukan evaluasi dan pemantauan atas eksistensi kinerja Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) yang dibentuk di satuan-satuan pendidikan. Eksistensi dan kinerja TPPK seharusnya dapat mencegah peristiwa kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan.
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah bersama dengan Kementerian Tinggi, Sains, dan Teknologi, serta Kementerian Agama mestinya segera membentuk instrumen pembinaan yang efektif baru guru-guru agama dan guru Pendidikan Kewarganegaraan, serta meningkatkan pembudayaan wawasan kebangsaan dan mainstreaming toleransi dalam pendidikan keagamaan dan kewarganegaraan di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi.
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), mesti melakukan evaluasi secara serius terhadap kebijakan dan program pemerintah pusat dan daeras yang diskriminatif dan menjadi pemantik terjadinya banalitas dan normalisasi intoleransi. Secara internal, BPIP harus berbenah secara holistik. Pembatasan penggunaan jilbab bagi anggota Paskibraka pada Upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila tahun lalu adalah gejala serius yang harus direspons dengan pembenahan serius. BPIP sebagai lembaga pengawal Pancasila, mestinya menjadi garda terdepan dalam aktualisasi nilai-nilai Pancasila, bukan sebaliknya.
Komnas HAM mesti melakukan upaya pengawasan yang lebih komprehensif terhadap praktik-praktik diskriminasi dan intoleransi yang terjadi di lembaga pendidikan. Kolaborasi lintas lembaga merupakan kerja nyata yang sangat krusial guna memulihkan keadilan dan rasa aman bagi korban tindakan intoleransi.